Langsung ke konten utama

Sejarah Malam 1 Muharram

Sejarah Malam 1 Muharram (Tahun Baru Hijriah)

0diggsdigg

Akhirnya,datanglah suatu masa dimana Nabi saw mengetahui bahwa dakwah Islam di Mekkah telah mengalami penekanan yang luar biasa sehingga keadaan sangat tidak mendukung bagi kaum muslim. Rasulullah saw bergerak dengan dakwahnya. Lalu Allah SWT mewahyukan kepadanya agar dia berhijrah. Kemudian mulailah Nabi berhijrah di jalan Allah SWT setelah tiga belas tahun beliau di Mekkah. Islam ingin membangun negaranya dan ingin menghilangkan pengepungan dan serangan kaum musyrik. Mula – mula terjadilah perubahan sedikit pada keadaan kaum muslim.

Rasulullah saw keluar dalam musim haji untuk menunjukkan dirinya pada kabilah-kabilah Arab sebagaimana yang beliau lakukan pada setiap muslim. Beliau berada di tempat yang bernama ‘Aqabah, lalu beliau bertemu dengan jamaah dari Khazraj. Rasulullah saw berkata kepada mereka, “siapa kalian?” mereka menjawab: “kami berasal dari kelompok Khazraj.” Beliau berkata,”apakah kalian termasuk pembantu kaum Yahudi?” mereka menjawab:”benar.”Beliau berkata,”maukah kalian duduk bersama aku karena aku ingin sedikit berbicara degan kalian.”mereka menjawab:”boleh.” Kemudian mereka duduk bersama Nabi lalu beliau mengajak mereka untuk mengikuti agama Allah SWT.

Rasulullah saw sedikit menceritakan Islam kepada mereka dan membacakan Al-Qur’an. Enam orang mendengar apa yang di sampaikan oleh Nabi saw. Setelah beliau selesai dari pembicaraannya, mereka membenarkannya dan beriman kepadanya. Kemudian mereka menceritakan kepada Nabi saw bahwa mereka meninggalkan kaumnya karena kaum mereka terlibat peperangan dan kebencian. Mudah-mudahan Allah SWT mengumpulkan mereka dengan kedatangan Nabi saw yang mulia ini. Mereka memberitahu Nabi saw bahwa mereka akan menceritakan kepada kaumnya apa yang mereka dengar dari Nabi saw dan akan mengajak mereka untuk memenuhi dakwah Nabi saw.

Keenam lelaki tu kembali ke kota Madinah yang berubah namanya menjadi Madinah Munawarah yang sebelumnya ia bernama Yatsrib di zaman jahiliah. Allah SWT berkehendak untuk meneranginya dengan Islam. Para lelaki itu kembali ke Madinah dan mereka membawa Islam di hati mereka sehingga banyak orang yang masuk Islam.

Kemudian datanglah musim haji dan keluarlah dari Madinah dua belas orang lelaki dari orang-orang yang beriman yang diantara mereka terdapat enam orang yang Rasulullah saw telah berdakwah kepada mereka pada musim yang dulu dan Nabi saw menemui mereka di ‘Aqabah. Kemudian Nabi saw melakukan baiat pada mereka agar mereka mempertahankan keimanan dan membela dakwah kebenaran serta kemanusiaan.

Kaum lelaki itu kembali ke Madinah disertai salah seorang yang terpercaya dari tokoh Islam yaitu Mus’ab bin Umair dimana dia menjadi utusan Rasulullah saw di Madinah dan dia mengajari manusia tentang agama mereka dan membacakan kepada mereka Al-Qur’an dan menyerukan kebenaran kepada manusia sehingga tersebarlah Islam di Madinah. Penduduk Madinah mulai bertanya-tanya, mengapa saudara-saudara kita kaum Muslim Mekkah ditindas? Mengapa Rasulullah saw keluar untuk berdakwah dan menebarkan rahmat tetapi beliau justru mendapatkan angin kebencian? Sampai kapan kita akan membiarkan Rasulullah saw teraniaya dan terusir di Mekkah?

Demikianlah, pergilah tujuh puluh orang ke Mekkah, tujuh puluh orang dari penduduk Madinah Munawarah. Mereka pergi ke ‘Aqabah dalam keadaan sendirian dan berkelompok-kelompok. Islam telah menghasilkan buah pertamanya dalam hati mereka sehingga hati mereka di penuhi cinta kepada Allah SWT dan RasulNya serta kaum muslim. Penderitaaan yang dialami kaum muslim mempengaruhi jiwa mereka dan mencegah mereka dari kenikmatan tidur dan nikmatnya memakan dan nikmatnya kehidupan. Orang-orang yang baik itu datang dan berbaiat kepada Rasulullah saw untuk membela beliau menolongnya dan melindunginya serta siap untuk mati di jalannya. Mereka datang setelah hati mereka diliputi oleh Islam dan mereka meberikan segala sesuatu untuk dakwah yang baru; mereka datang sebagai pecinta-pecinta kebenaran.

Kitab-kitab hadis yang suci meriwayatkan apa yang terjadi pada baiat ‘Aqabah al-kubra. Dalam kitab tersebut dikatakan bahwa Abbas Ibnu Abdul Muthalib datang bersama Nabi dan saat itu dia masih berada dalam agamanya kaumnya. Dia ingin menyelesaikan urusan anak pamannya. Ketika dia duduk dan berbicara, dia mengatakan suatu pertanyaan yang mengisyaratkan bahwa Muhammad saw mendapatkan kemuliaan dari kaumnya dan kekuatan di negrinya tetapi dia enggan dan memilih untuk bergabung bersama kalian wahai penduduk Madinah. Jika kalian memenuhi janjinya dan melindunginya maka ambillah dia, namun jika kalian khawatir jika suatu saat nanti akan mengkhianatinya maka mulai dari sekarang biarkanlah dia di negerinya.

Kata-kata Abbas tersebut berasal dari fanatisme kesukuan dan ikatan darah keluarga namun penduduk Madinah tidak begitu peduli dengan kalimat Abbas itu karena dia bukan termasuk dari agama mereka dan dia tidak mengetahui tingkat cinta kepada Rasulullah saw yang mereka capai. Abbas bin Abdul Muthalib menunggu jawaban dari penduduk Madinah. Lalu mereka berkata kepadanya, “kami telah mendengar apa yang engkau katakan maka berbicaralah ya Rasulullah, ambilah untuk dirimu dan Tuhanmu apa saja yang engkau sukai.”

Kita ingin mengamati jawaban sekelompok orang yang mungkin dari penduduk Madinah ini sehingga Rasulullah saw berbicara. Jawaban yang di cari oleh Abbas bin Abu Muthalib tersembunyi dalam pernyataan Nabi. Demikianlah setelah Rasulullah saw mengucapkan kalimatnya maka tidak keluar pernyataan apapun. Cukup hanya Nabi yang berbicara dan mereka hanya menantinya. Mereka meminta kepada beliau agar mengambil pada dirinya dan Tuhannya apa saja yang beliau sukai; mereka merasa tidak memilik apa-apa dan tidak memiliki keputusan. Nabi berbicara lalu beliau membaca Al-Qur’an dan mengajak kejalan Allah SWT. Kemudian beliau berbicara tentang Islam dan beliau membaiat mereka agar membantu beliau sehingga merekapun membaiat kepadanya. Demikianlah terjadinya baiat ‘Aqabah al-Kubra.

Orang-orang yang terpilih oleh Allah SWT itu mengetahui bahwa sebentar lagi mereka akan diajak untuk mengang kat senjata; mereka diajak untuk mendapatkan kematian di bawah pedang. Mereka menenangkan Rasulullah saw bahwa beliau akan mendapati orang-orang yang sudah terlatih dalam peperangan karena mereka mewarisi dari kakek-kakek mereka.

Salah seorang dari tujuh puluh orang itu menyebutkan masalah yang penting. Abul Haitsyam berkata: “ sesungguhnya diantara orang-orang Madinah dan Yahudi terdapat suatu tali ikatan maka mereka boleh jadi akan memutuskannya lalu, apakah sikap yang harus kita ambil jika mereka lakukan hal itu dan memusuhi orang Yahudi.” Kemudian Allah SWT menolong Nabi saw dan memenangkan atas kaumnya, lalu dia kembali kepada mereka dan meninggalkan mereka dibawah kasih sayang orang-orang Yahudi.

Perhatikanlah bahwa pernyataan tersebut berkisar pada kecintaan kepada Nabi dan keinginan agar Nabi tetap bersama mereka selama perjalanan hari dan bulan. Masalah yang di tuntut oleh Abbas bin Abdul Muthalib secara jelas adalah masalah perindungan mereka kepada Nabi, di mana hal tersebut tidak lagi diperdebatkan oleh orang-orang yang tepilih dari penduduk Madinah. Namun masalah yang mereka inginkan adalah masalah perlindungan Nabi dan keberadaan Nabi bersama mereka di Madinah.

Nabi tersenyum dan beliau mengatakan kalimat-kalimat yang justu menekankan bahwa ikatan akidah lebih kuat dari pada ikatan darah. Beliau berkata: “tetapi darah adalah darah dan kehancuran adalah kehancuran. Aku dari kalian dan kalian dariku aku akan memerangi orang-orang yang kalian perangi dan aku akan berdamai dengan orang-orang yang kalian berdamai dengan mereka.”

Akhirnya, penduduk Madinah pergi dan kembali ke negeri mereka. Kemudian berita tentang baiat ini sampai ketelinga orang-orang Mekah dan para tokoh musyrik, lalu mereka justru menambah penekanan kepada Rasulullah saw dan kaum muslim.

Para preman Mekah berkumpul di Darul Nadwah. Mereka menetapkan akan mengambil suatu keputusan penting berkaitan dengan Nabi. Salah seorang dari mereka mengusulkan agar beliau di belenggu dengan besi lalu di buang ke penjara sehingga beliau mati kelaparan. Sebagian lagi mengusulkan agar beliau di buang dari Mekkah dan diusir. Abu Jahal mengusulkan agar mereka mengambil dari setiap keluarga dari keluarga-keluarga Quraisy seorang pemuda yang kuat, kemudian setiap dari mereka di beri pedang yang terhunus dan hendaklah mereka memukulkan pedang itu ke tubuh Nabi. Jika mereka berhasil membunuhnya niscaya semua kabilah bertanggung jawab darah sang Nabi dan Bani Hasyim tidak akan mampu menuntut dan memerangi orang Arab semuanya dan mereka akan menerima diat sebagai tebusan dari pembunuhan itu. Demikianlah persekongkolan itu di gelar dan*mereka sepakat untuk melaksanakan hal itu. Namun Al-Qur’an al-Karim menyingkap persekongkolan yang dilakukan orang-orang kafir itu dalam firman-Nya:

“dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (QS. Al –Anfal:30)

Allah SWT mewahyukan kepada Nabi-Nya agar dia berhijrah. Lalu Nabi mulai menyiapkan sarana-sarana untuk hijrahnya. Beliau menyembunyikan urusan tersebut bahkan beliau tidak memberitahu sahabat yang akan menemaninya. Rasulullah saw menyewa seorang penunjuk jalan yang pengalaman yang mengenal padang gurun seperti mengenal garis-garis tangannya. Yang mengherankan penunjuk jalan itu adalah seorang musyrik. Demikianlah Nabi meminta bantuan kepada orang yang ahli tanpa memperhatikan keyakinannya.

Kemudian datanglah malam pelaksanaan kejahatan itu. Rasulullah saw memerintahkan Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidurnya di malam tersebut. Datanglah pertengahan malam dan Rasulullah saw pun keluar dari rumahnya. Para pemuda Mekkah mengepung rumah. Mereka menghunuskan pedangnya. Nabi menggenggam tanah lalu beliau melemparnya ke arah kaum sehingga mereka pun merasa kantuk sehingga Nabi saw dapat menembus kepungan mereka. Beliau keluar dari Mekkah dan berhijrah.

Dengan langkah yang di berkati ini, kaum Muslim menanggali tahun-tahun mereka. Tahun dalam Islam adalah tahun Hijiriah, sedangkan kaum Masehi menanggali tahun mereka dengan kelahiran Isa dan ini di sebut dengan tahun Masehi. Adapun tahun-tahun Islam maka ia di tanggali pertama kalinya saat Rasulullah saw keluar berhijrah di jalan Allah SWT.
Buletin Al-Hujjah Vol: 02-IX/Muharram-1429H/Jan-08 
Al-Wala’ berarti cinta dan loyalitas terhadap ke-Islaman, terhadap segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya, berupa keimanan, orang-orang beriman, syi’ar-syi’ar Iman dan Islam yang shahih, dll.
Al-Bara’ mengandung makna benci dan berlepas diri dari apa-apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya berupa kesyirikan, orang-orang musyrik, syi’ar-syi’ar kesyirikan, kemaksiatan, kebid’ahan, dll.
Pergantian tahun baru Hijriah setiap 1 Muharram, seharusnya menjadi ajang pembelajaran bagi kita akan aqidah al-Wala’ al-Bara’.
Penanggalan Hijriah dalam sejarah Islam, didasari oleh peristiwa Hijrah Nabi r dan para sahabatnya radhiallaahu ‘anhum dari negeri kufur -Makkah waktu itu- menuju Madinah. Setelah bertahun-tahun berada dalam belenggu permusuhan, penyiksaan dan penistaan agama dari orang-orang musyrik di Makkah, mereka ber-Hijrah meninggalkan kampung halaman dan sanak famili tercinta. Tak ada yang menjadi motor penggerak peristiwa Hijrah ini melainkan semangat al-Wala’ wal-Bara’.
Iman dan Islam adalah hadiah teristimewa yang paling indah dari Allah, sehingga cinta dan loyalitas (al-Wala’) terhadapnya mengalahkan cinta dan loyalitas terhadap tanah air, harta, agama nenek moyang, dan fanatisme suku yang mewarnai kehidupan bangsa Arab kala itu. Sementara kekufuran dan kesyirikan adalah suatu hal yang paling mereka benci. Kebencian yang mengalahkan kebencian untuk meninggalkan tanah air, harta, agama nenek moyang dan para kerabat tercinta. Merekalah Hizbullah (Partai Allah) yang sebenarnya, yang akan menggapai keberuntungan dunia dan akhirat. Allah telah menjelaskannya kepada kita dalam ayat yang agung:
(Artinya) “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. meraka Itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah hizbullah (golongan Allah). ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” [QS. Al-Mujaadilah: 22]
Prinsip al-Wala’ wal-Bara’ adalah prinsip para Rasul. Allah berfirman tentang sikap Nabi Ibarahim ‘alaihissalam:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya Kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara Kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja...” [QS. Al-Mumtahanah: 4]
Namun sayang beribu sayang, banyak di antara kita -kaum muslimin- melupakan spirit (semangat) al-Wala’ wal-Bara’ dalam setiap pergantian tahun Hijriah. Padahal, justru spirit inilah yang melandasi dan melatarbelakangi peristiwa Hijrah, sebuah peristiwa bersejarah yang kemudian melahirkan tahun Hijriah.
Konsekuensi al-Wala’ wal-Bara’
Salah satu konsekuensi aqidah al-Wala’ al-Bara’ adalah larangan ber-tasyabbuh, yaitu mengikuti atau menyerupai tradisi orang-orang kafir dan kebiasaan yang menjadi ciri khas agama mereka, atau karakter kental kebudayaan hidup mereka. Larangan tasyabbuh didasari oleh nash al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Yahudi-Nashrani), niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” [QS. Ali ‘Imran: 100]
Dalam mempraktikkan konsekuensi ini, Rasulullah r sangat anti (baca: Bara’) untuk serupa dengan orang-orang kafir. Ibnu ‘Abbas t mengisahkan: “Ketika Rasulullah r menjalankan Puasa ‘Asyuro (10 Muharram) dan memerintahkan untuk mengerjakannya, orang-orang berkata, ‘Wahai Rasulullah r, sesungguhnya hari ‘Asyuro ini juga diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani”. Maka Rasulullah r bersabda: “Kalau begitu Insya-Allah tahun depan kita juga akan berpuasa di hari ke-9 (Muharram)”. Ibnu ‘Abbas t berkata: “Belum sampai tahun berikutnya, Rasulullah r sudah lebih dulu wafat”. [Muslim: 1134, lihat al-Wajiiz fil Fiqhi hal. 206]
Nah, jika realita keumuman masyarakat Islam dalam setiap pergantian tahun Hijriah kita kaitkan dengan konsekuensi al-Wala’ wal-Bara’ ini, akan terpampang jelas di hadapan kita ironi yang aneh bin ajaib. Sungguh realita yang berbalik seratus delapan puluh derajat. Momen pergantian tahun baru Hijriah justru menjadi ajang tasyabbuh. Betapa banyak biaya yang dihamburkan untuk acara pawai dan kembang api 1 Muharram? Sungguh ini -selain mubazir- adalah bentuk perayaan yang menyerupai perayaan tahun baru masehi di Barat sana. Belum lagi ritual-ritual aneh 1 Syuro yang mirip ritual Hinduisme yang sarat akan praktek kesyirikan. Ini baru dari satu sisi.
Di sisi yang lain, aqidah al-Wala’ al-Bara’ menuntut kita untuk cinta dan loyal terhadap sunnah Rasulullah r, sekaligus benci dan berlepas diri dari bid’ah, sikap mengada-ada dalam syari’at. Namun tengoklah kenyataannya, aneka ragam ritual dan ibadah diada-adakan untuk “memeriahkan 1 Muharram”. Mulai dari do’a berjama’ah akhir dan awal tahun di masjid-masjid, ritual di pantai menanti detik-detik matahari terbenam, bahkan sampai memblokir jalan raya untuk difungsikan sebagai lokasi ritual menyambut pergantian tahun Hijriah.
IBADAH: Tidak Cukup Hanya Bermodalkan “Ketulusan Niat”
Mungkin niat dan tujuan mereka baik, semata-mata untuk mengangkat syi’ar Islam, demi menyaingi perayaan tahun baru Masehi, tahun baru Cina, tahun baru Saka, dan lain-lain. Akan tetapi tetap saja, niat yang baik dan tulus, tidak bisa lantas menjadikan amalan yang buruk (baca: bid’ah) menjadi baik.
Rasulullah r sangat keras mengkritisi sikap seperti ini, sebagaimana dikisahkan oleh Anas t:
“Datang tiga orang menuju rumah para istri Nabi r. Mereka bertanya tentang ibadah Nabi r. Manakala mereka dikabarkan perihal ibadah-ibadah yang dilakukan oleh Nabi r, seakan-akan mereka menganggapnya sedikit. Maka mereka berkata: ‘Kita ini di mana jika dibandingkan dengan Nabi? (Wajar saja), beliau telah diampuni dosa-dosanya, baik yang telah lampau dan yang akan datang.’ Salah seorang di antara mereka lantas berkata: ‘Adapun aku, sungguh aku akan solat malam selamanya (tidak tidur).’ Berkata lagi yang lain: ‘Aku akan berpuasa dahr, dan tidak akan berbuka (puasa setiap hari tanpa jeda).’ Dan yang satu lagi berkata: ‘Aku akan menjauhi wanita, aku tidak akan menikah selamanya.”
“Maka Nabi r datang, lantas berkata (sambil marah): ‘Kalian yang berkata begini… dan begini…? Adapun aku demi Allah! Aku orang yang paling takut kepada Allah daripada kalian, dan aku yang paling taqwa kepada-Nya daripada kalian! Namun (kendatipun demikian) aku ini berpuasa, tapi juga berbuka (ada hari jeda). Aku solat (malam), dan aku juga tidur. Dan aku menikahi wanita. Maka barangsiapa yang tidak suka sunnahku (lebih memilih yang lain), maka dia bukan golonganku”. [Bukhari: 5063, Muslim: 1401, Lih. Ushuulul Bida’ hal. 108]
Dalam kisah tiga orang tersebut, terdapat pelajaran yang lembut, bahwa niat yang baik dalam menjalankan ibadah, tidak bisa menjadikannya baik dan diridhai, jika ibadah tersebut tidak sesuai dengan syari’at Rasulullah r. [Lihat Ushuulul Bida’ hal. 108-109, Ali Hasan al-Halabi].
Demikianlah bid’ah. Ia tetap tercela di mata syari’at, sekalipun akal-akal kita dan perasaan manusia beranggapan sebaliknya. Ibnu ‘Umar t pernah berkata:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah kesesatan, sekalipun manusia memandangnya sebagai kebaikan.” [Lihat al-Wajiiz fil ‘Aqiidah hal. 210]
Pelakunya tetap tercela, karena telah menandingi syari’at Allah yang disampaikan melalui Rasul-Nya. #
Penyusun: Editorial Pustaka al-Hunafa’

Tahun Baru Hijriah dan Solidaritas Sosial

SETIAP tanggal 1 Muharram, seluruh ummat Islam menyambut momen bersejarah Ini dengan perasaan suka cita bercampur bahagia. Berbagai persiapan dilakukan, agar momen bersejarah Ini tidak terlupakan begitu saja tanpa menghasilkan sesuatu yang bermakna dan bernilai dalam konteks kehidupan nyata.
Bulan Muharram adalah hari dimana Nabi Muhammad dan para Sahabatnya melaksanakan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Tujuan hijrah di sini adalah untuk menghindari perpecahan dan ancaman dari orang-orang kafir Quraish yang hendak mengancam keselamatan ummat Islam, terutama Nabi Muhammad sendiri.
Hijrah bukan berarti lari dari persoalan yang mengancam, melainkan sebagai bentuk kecintaan Nabi kepada penduduk Mekkah. Di samping itu. Nabi tidak Ingin pertumpahan darah selalu terjadi akibat orang Mekkah tidak menerima ajarannya yang bertentangan dengan keyakinan nenek moyang bangsa Arab.
Terlepas dari hal itu. pergantian tahun Baru Islam, tidak sekedar dimaknai sebagai momen menuju sejarah baru, akan tetapi harus dijadikan spirit untuk menuju kehidupan yang lebih balk. Setiap momen sejarah dalam Islam, semestinya menjadi refleksi kritis untuk memperbaiki diri terhadap tindakan yang kita lakukan pada tahun sebelumnya.
Dalam artian, momen tersebut tidak hanya dijadikan kenangan artifisial, namun yang lebih penting adalah bagaimanan membawa pencerahan dan perbaikan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Momentum Muharram, patut dijadikan kesempatan untuk berbenah diri. Berbenah dari segala sifat yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Mulai dari sifat angkuh. sombong, arogan, egois, dzalim, kikir. sampai pada sifat
tidak mau peduli pada yang lemah, miskin, terbelakang, dan tergurus dari lingkungan mereka tinggal.
Kesalehan Sosial
Islam mengajarkan kepada kita agar cinta pada sesama, walaupun berbeda agama. Wujud cinta kita dapat diaktualisasikan dalam bentuk bantuan maupun dorongan moril yang bisa memperkuat mental orang-orang miskin. Kesadaran kita pada yang lemah, sangat diharapkan untuk menimalisir kemiskinan yang akut dijiegeri ini.
Di tengah problem kebangsaan yang menimpa negeri Ini, mulai dari krisis keuangan global yang menghantam perekonomian Indonesia, semestinya kita memiliki sikap kepedulian dan kesadaran untuk memberikan sumbangsih pemikiran agar problem yang menimpa bangsa kita dapat diatasi dengan balk.
Salah satu bentuk kepedulian itu adalah dengan menumbuhkan kesalehan sosial di antara sesama. Apalagi, kita berada ditengah momentum Muharram yang merupakan manifestasi nilai-nilai keislaman yang terkandung dalam al-Quran.
Menurut Abdul Munir Mulkhan (2005), kesalehan sosial adalah suatu tindakan yang berguna bagi diri sendiri dan orang lain, serta dilakukan atas dasar kesadaran pada ajaran Tuhan. Tindakan saleh (sering disebut dalam kosa kata amal saleh) merupakan Implementasi keber-imanan, pernyataan atau produk dari iman (percaya kepada Tuhan) seseorang yang dilakukan secara sadar. Dengan kata lain, tindakan sosial yang kita lakukan, tidak saja bermanfaat bagi kebahagiaan orang lain, tapi Juga kita akan mendapatkan balasan setimpal atas apa yang kita
lakukan.
Kesalehan dalam bentuk materi dan dorongan moril merupakan salah satu bentuk kepedulian kita kepada sesama. Ajaran-ajaran keislaman yang kita ketahui, harus diwujudkan dalam bentuk nyata. Begitulah agama kita mengajarkan tentang pentingnya membantu yang lemah dan yang membutuhkan uluran tangan kita.
Itulah sebabnya, kepedulian bukan saja berarti memberikan sebagian harta yang kita miliki, lebih daripada Itu, kepedulian merupakan bagian dari jihad yang terselubung dalam konteks sosial.
Dalam konteks Inilah. Islam selalu mewanti-wanti pada ummalnya agar menghindari tindakan represif kepada ummat yang lain. Sehingga, tak heran kalau Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap harkat kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, dan mengajarkan kepada kita agar berbelas kasihan pada kaum yang tertindas.
Humanisme Jihad
Meminjam istilah Fauzan Shaleh (2006), kita harus berjihad melawan ketidakadilan yang mengkungkung ummat dari keterbelakangan, penindasan, diskriminasi, dan exploitation del homme par homme. Termasuk jihad dalam konteks ini ialah kesediaan seseorang untuk tidak mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan status quo. tetapi berjuang untuk membela kepentingan orang-orang lemah dan tertindas.
Dengan kata lain, sikap keberimanan kita tidak saja dimaknai mempercayai Tuhan semata, melainkan Juga kesatuan ummat manusia ((he unify of mankind), yang tidak akan terwujud tanpa memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan dan sifat egalitarianisme sosial.
Pada titik inilah, makna substaslal Muharram dapat kita rasakan melalui penghayatan dan refleksi kritis terhadap ajaran agama Itu sen-
diri. Itulah mengapa. Bung Karno selalu mengatakan pentingnya mengobarkan api Islam, bukan abunya. Sebab la melihat pentingnya esensi sebagai pesan universal dari konsep rahmatal Hl alamin.
Oleh karenanya, di tengah bangsa yang sedang bergejolak, kita harus terus menerus menekankan betapa pentingnya kesadaran kemanusiaan sebagai timbal balik dari manifestasi ajaran Islam. Harus kita sadari, bahwa Nabi Muhammad memandang Islam sebaga] agama humanis.
Agama yang selalu menekankan dimensi kemanusiaan atau antroposentrik. Menurut Muhammad Sobari (2006). dalam Humanisme Beragama, fungsi diturunkannya agama adalah demi kemaslahatan ummat manusia. Penegasan Ini menurutnya, bukan berarti meninggalkan dimensi teosentrik. tapi teosenulk an-slch akan membuat agama semakin kering nilai dan jauh dari esensi awalnya.
Menyikapi demikian, menumbuhkan semangat keberag`man yang inklusif merupakan bentuk penghargaan terhadap ummat lain. Walaupun Islam sebagai agama inklusif, kita harus tetap menjaga otentltas nilai-nilai keislaman secara teguh dan meyakinkan. Itu artinya, kita mesti memiliki keteguhan Iman yang kuat ketika harus bersinggungan dengan keimanan ummat lain di luar Islam.
Bagi ummat [slam, marilah kita tumbuhkan semangat keberimanan sosial di tengah problem kebangsaan dan keagamaan yang dilanda berbagai persoalan. Kita harus tetap optimis, bahwa dalam pergantian tahun Islam ini, kita masih mempunyai kesempatan untuk berbenah diri menatap masa depan kehidupan yang bersifat egaliterianisme, di samping Juga harus menjaga kerukunan antar ummat beragama. Selamat Tahun Baru 1430 Hijriah! (Peneliti Utama The Annuqayah Institute Yogyakarta)
MAKNA TAHUN BARU HIJRIYAH: Bergerak, Berjuang dan Melawan
Oleh : Rudy Handoko | 30-Des-2008, 00:51:11 WIB

KabarIndonesia - Tak terasa saat ini kita sedang memasuki dua tahun baru. Tahun Baru Hijriyah 1430 H dan Tahun Baru Masehi 2009. Selamat Tahun Baru kuucapkan pada seluruh handai taulan. Semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih indah, lebih damai, lebih berwarna carah, lebih baik dari tahun kemarin.

Menurut Baginda Rasul, seseorang yang beruntung adalah jika hari ini lebih baik dari hari kemarin, hari esok lebih baik dari hari ini. Sedangkan orang yang ‘celaka’ alias ‘gagal’ adalah jika hari ini lebih buruk dari hari kemarin dan hari esoknya lebih buruk dari hari ini.

Biasanya, setiap kali tahun baru hijriyah tiba, maka akan banyak ceramah-ceramah agama yang mengingatkan akan makna dan hikmah di balik pergantian tahun, termasuk yang menceritakan tentang makna dan hikmah di balik hijrahnya Baginda Rasul yang merupakan titik sejarah perhitungan Tahun Baru Hijriyah berdasarkan peredaran bulan (lunar system).

Maksudnya, dengan memahami makna-hikmah pergantian tahun serta meneladani makna-hikmah perjalanan hijrahnya Baginda Rasul beserta Imam Ali Karamallahu Wajhahu dan sahabat, Abu Bakar RA, maka kita diharapkan mendapat suntikan rohani dan bekal semangat untuk menghadapi tahun depan yang mungkin saja lebih baik, tapi boleh jadi juga lebih menantang dan berat.

Biasanya, isi ceramah-ceramah itu, seperti yang sering ditularkan oleh para ahli dakwah, cuma sekadar menceritakan hikmah tahun baru hijriyah secara tekstual. Yaitu seputar cerita hijrah Baginda Rasul, mulai dari lolosnya Baginda Rasul ketika dikepung kaum dzalim, bersembunyi di Gua Tsur hingga sampai di Madinah Al-Munawwarah. Cerita itu selalu diulang-ulang dari tahun ke tahun.

Terlepas dari kisah tersebut, padahal ada ide-ide segar yang lebih progressif yang dapat diuraikan dari makna-hikmah hijrah itu. Seperti memaknai hikmah hijrah sebagai bentuk upaya membangun gerakan dan perlawanan terhadap kedzaliman dan memaknai upaya revolusioner Baginda Rasul mendobrak tatanan bobrok kaum elit penguasa kapitalis Mekkah.

Hijrah adalah bagian dari strategi untuk mengembangkan perlawanan dengan membangun basis kekuatan, membina kader, merangkul dan membentuk aliansi strategis serta berjuang secara bertahap, konsisten dan komitmen memberangus sistem yang korup, jahil, dan dzalim yang status quo di Mekkah dan Jazirah Arab pada saat itu.

Jika ini diletakkan pada konteks sekarang, maka élan vital perjuangan Muhammad sang Revolusioner akan terus mengharu biru dan mampu memberi semangat bagi umatnya. Terutama pada masa panca roba sosial saat ini, yang mana penjahat menjadi penguasa, penguasa adalah penindas yang sejati, rezim berkembang dan berjaya di atas penderitaan rakyat.

Seandainya semangat hijrah itu dimaknai hikmahnya secara kontekstual, mungkin kita mafhum bahwa hijrah Baginda Rasul bukan sekedar cerita agama atau roman pengantar tidur. Sekarang hijrah bukan sekadar cerita berpindah secara fisik, tapi hijrah adalah memuat semangat perlawanan dan upaya untuk membangun peradaban yang lebih baik. Terlebih kita sedang mengalami peradaban rusak, peradaban yang kapitalistik dan menghisap, peradaban yang dibuat para penindas untuk melanggengkan status quo dan penindasan.

Jika kita sedang berada di negeri yang korup, jahil dan dzalim, maka hijrah adalah bergerak-berjuang-melawan untuk mengubahnya. Ada sebuah plesetan (positif) tentang ayat suci Al-Quran yang kira-kira bunyinya begini; ”Sesungguhnya syirik itu adalah kedzaliman yang nyata,” diplesetkan menjadi “Sesungguhnya kedzaliman itulah kesyirikan yang nyata". Maka kedzaliman harus dilawan!

Selamat Tahun Baru Hijriyah 1430 H

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SKENARIO BK

SKENARIO BIMBINGAN KELOMPOK TEKNIK DISKUSI KELOMPOK TAHAP PEMBENTUKAN ·          Pembukaan dengan mengucapkan salam. ·          Konselor mengucapkan ucapan terima kasih kepada para anggota kelompok atas kehadiran mereka. ·          Konselor membuka bimbingan kelompok dengan berdoa bersama dengan dipimpin oleh anggota kelompok yang telah disepakati. ·          Konselor memperkenalkan diri dan dilanjutkan oleh anggota kelompok untuk memperkenalkan diri dengan gaya dan ciri khas masing-masing. ·          Melakukan permainan untuk pengakraban antar anggota kelompok menggunakan permainan dengan nama “SIAPA DIA”.   Permainan   pengakraban ini dengan cara konseli menuliskan ciri-ciri yang ada pada dirinya, apa yang dibenci dan apa yang disukai pada selembar kertas. S...

Tanaman Transgenik makalah

Tanaman Transgenik: Dampak bagi Kehidupan Manusia Saat Ini Makalah Ilmu Alamiah Dasar Al – Donna Zhara K.            114284015 Choirunnisa Rahayu             114284026 Dinastuty Mulia           114284030 Universitas Negeri Surabaya Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Pendidikan Sejarah 2012 KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan   kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahma tserta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan makalah Ilmu Alamiah Dasar yang Alhamdulillah tepat pada waktunya Makalah ini berisikan tentang informasi   “ Tanaman Transgenik: Dampak bagi Kehidupan Manusia Saat Ini ” semoga m akalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.             Saya   menyadari bahwa...

Pengantar ilmu sejarah

Pengertian sejarah: ·          Kamus umum bahasa Indonesia yang ditulis oleh W.J.S Poerwadarminta Menyebutkan bahwa sejarah mengandung tiga pengertan berikut: 1.       Sejarah berarti silsilah atau asal usul. 2.       Sejarah berarti kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. 3.       Sejarah berarti ilmu,pengetahuan,cerita pelajaran tantang kejdian atau peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau. ·          Moh. Ali dalam bukunya pengantar ilmu sejarah Indonesia   mempertegas pengertian sejarah sebagai berikut : 1.       Jumlah perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita. 2.       Cerita tentang perubahan-perubahan, kejadian atau peristiwa dalam kenyataan di sekitar kita. 3.    ...