Makalah
Tugas Pra-Aksara
SITUS – SITUS MANUSIA PURBA

Jurusan Pend. Sejarah Prodi S1 Pend. Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Surabaya
Makalah
Tugas Pra-Aksara
SITUS – SITUS MANUSIA PURBA

Nama Anggota :
Kelas A
1.
Yullianah Enneke (114284014)
2.
Muflih Zamroni (114284012)
3.
Arfandianto (114284013)
4.
Al-Donna Zahra (114284015)
5.
Lilis setiyoningsih(114284011)
6.
Ernawati (114284017)
7.
Eti Aprilia (114284020)
8.
Farikhah Fayurizki (114284016)
9.
Dwi Redha Iktamala (114284019)
10. Ardian
Agus Mahardika (114284018)
11. I
Made Arsana
Jurusan Pend. Sejarah Prodi S1 Pend. Sejarah
Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Surabaya
Pendahuluan
Pembuatan
makalah ini berdasarkan observasi kami terhadap situs –situs peninggalan budaya
pada jaman purbakala. Diantaranya gua – gua yang pernah dihuni oleh manusia
purba kala itu beserta peninggalan budayanya. Lapisan –lapisan tanah yang
menunjukkan perubahan –perubahan bentuk muka bumi hingga menjadi sekarang ini.
Adapun fosil hewan – hewan yang menghuni bumi kala itu yang jidup disekitar
lingkungan manusia.
Observasi
kami mengenai Situs Sangiran, Gua Song Terus, Gua Song Gupuh, gua Song Gupuh
dan Situs Ngrijangan. Disini akan
dijelaskan mengenai letak, luas, pendiskripsian tempat dan jenis temuan apa
saja yang ada di dalamnya.
Makalah
ini dibuat untuk melengkapi tugas Pra-Akasara sekaligus sebagai data hasil dari
observasi langsung ke lapangan. Data – data tersebut merupakan penjelasan
secara kongkrit materi yang telah kami pelajari di kampus. Isi dari makalah
juga berguna sebagai data penjelas karena merupakan rangkuman dari berbagai
sumber ahli sejarah yang terdapat di lokasi maupun dari buku- buku yang dapat
dipercaya kebenarannya. Bukti penelitian juga terdapat dalam makalah sebagai
hasil nyata dari observasi kami.
A.
Situs
Sangiran
Sangiran adalah
sebuah daerah pedalaman yang terletak di kaki Gunung Lawu, tepatnya sekitar 17
Km ke arah utara dari Kota Solo. Terletak di wilayah Kabupaten Sragen dan
sebagian terletak di Kabupaten Karanganyar, Proponsi Jawa Tengah. Luas wilayahnya
+ 56 Km2 yang mencakup tiga kecamatan di Kabupaten Sragen
yaitu Kec. Kalijambe, Kec. Gemolong dan Kec. Plupuh serta Kec. Gondangrejo di
Kabupaten Karanganyar. Secara astronomi terletak pada 7o 25' - 7o
30' LS dan pada 4o - 7o 05' BT (Moelyadi dan Widiasmoro,
1978).
Kawasan ini banyak
sekali menyimpan misteri yang sangat menarik untuk diungkap. Hal ini
dikarenakan pada situs tersebut banyak ditemukan sisa-sisa kehidupan masa
lampau yang sangat menarik untuk dicermati dan dipelajari. Yang paling menakjubkan,
kita bisa mendapatkan informasi lengkap dari sejarah kehidupan manusia purba
baik itu mengenai habitat, pola kehidupannya, binatang-binatang yang hidup
bersamanya dan proses terjadinya bentang alam dalam kurun waktu tidak kurang
dari 2 juta tahun yang lalu.
Berdasarkan
penelitian, manusia purba jenis Homo erectus yang ditemukan di wilayah Sangiran
sekitar lebih dari 100 individu yang mengalami masa evolusi tidak kurang dari 1
juta tahun. Jumlah ini mewakili 65% dari seluruh fosil manusia purba yang ditemukan
di Indonesia dan merupakan 50% dari jumlah fosil sejenis yang ditemukan di
dunia. kandungan batu yang pernah
digunakan manusia purba banyak pula ditemukan, sehingga kita bisa secara jelas
mengetahui ataupun mengungkap kehidupan manusia purba beserta budaya yang
berkembang saat itu.
Secara stratigrafis
situs ini merupakan situs manusia purba terlengkap di Asia yang kehidupannya
dapat dilihat secara berurutan tanpa terputus sejak 2 juta tahun yang lalu
yaitu sejak kala Pleiosen Akhir hingga akhir Pleistosen Tengah. Terdapat 13.086
koleksi fosil manusia purba . Selain itu juga dapat ditemukan fosil
hewan bertulang belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut serta
alat-alat batu.
Keistimewaan Sangiran, berdasarkan
penelitian para ahli Geologi dulu pada masa purba merupakan hamparan lautan.
Akibat proses geologi dan akibat bencana alam letusan Gunung Lawu, Gunung
Merapi, dan Gunung Merbabu, Sangiran menjadi Daratan. Hal tersebut dibuktikan
dengan lapisan-lapisan tanah pembentuk wilayah Sangiran yang sangat berbeda
dengan lapisan tanah di tempat lain. Tiap-tiap lapisan tanah tersebut ditemukan
fosil-fosil menurut jenis dan jamannya. Misalnya, Fosil Binatang Laut banyak
diketemukan di Lapisan tanah paling bawah, yang dulu merupakan lautan.
Pada awalnya penelitian Sangiran adalah
sebuah kubah yang dinamakan Kubah Sangiran. Puncak kubah ini kemudian
terbuka melalui proses erosi sehingga membentuk
depresi. Pada depresi itulah dapat ditemukan lapisan tanah yang mengandung
informasi tentang kehidupan di masa lampau. “Dome Sangiran” atau Kawasan Sangiran yang memiliki luas
wilayah sepanjang bentangan dari utara –selatan sepanjang 9 km. Barat –Timur
sepanjang 7 km. Masuk dalam empat kecamatan atau sekitar 59,3 Km2. Temuan Fosil
di “Dome Sangiran” di kumpulkan dan disimpan di Museum Sangiran. Temuan Fosil di Sangiran untuk jenis Hominid Purba
(diduga sebagai asal evolusi Manusia) ada 50 (Limapuluh) Jenis/Individu. Koleksi
Musium Sangiran :
1. Fosil manusia, antara lain
Australopithecus africanus , Pithecanthropus mojokertensis (Pithecantropus
robustus ), Meganthropus palaeojavanicus , Pithecanthropus erectus , Homo
soloensis , Homo neanderthal Eropa, Homo neanderthal Asia, dan Homo sapiens .
2. Fosil binatang bertulang
belakang, antara lain Elephas namadicus (gajah), Stegodon trigonocephalus
(gajah), Mastodon sp (gajah), Bubalus palaeokarabau (kerbau), Felis
palaeojavanica (harimau), Sus sp (babi), Rhinocerus sondaicus (badak), Bovidae
(sapi, banteng), dan Cervus sp (rusa dan domba).
3. Fosil binatang air, antara
lain Crocodillus sp (buaya), ikan dan kepiting, gigi ikan hiu, Hippopotamus sp
(kuda nil), Mollusca (kelas Pelecypoda dan Gastropoda ), Chelonia sp
(kura-kura), dan foraminifera .
4. Batu-batuan , antara lain
Meteorit/Taktit, Kalesdon, Diatome, Agate, Ametis.
5. Alat-alat batu, antara
lain serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak
perimbas-peneta
Banyak ahli Geologi,
anthropologi dan arkeologi datang ke situs ini untuk melakukan riset dan
belajar, diantaranya: Van Es (1939), Duyfyes (1936), Van Bemmelen (1937), Van
Koeningswald (1938), Sartono (1960), Suradi (1962) dan Otto Sudarmaji (1976).
Van Koeningswald menemukan paling tidak ada lima fosil manusia purba yang
berbeda –beda jenisnya yang ditemukan di Sangiran. Tidak ada tempat lain di
dunia ini yang kekayaan fosilnya menyamai apalagi melebihi Sangiran.
Fosil-fosil yang ditemukan di Sangiran sangat beragam, ada fosil mahluk hidup
dari daratan, maupun fosil mahluk hidup dari lautan. Dari hasil temuan ini, ada
kemungkinan bahwa pulau Jawa terangkat dari dasar laut jutaan tahun yang lalu.
Pada tahun 1891, Eugene Dubois, ahli antropologi
dari Perancis menemukan fosil Pithecanthropus Erectus, manusia purba tertua
dari Jawa. Kemudian di tahun 1930 dan 1931, di desa Ngandong, Trinil-Mojokerto,
ditemukan juga fosil-fosil manusia purba yang berasal dari jaman Pleistocene.
Penemuan-penemuan ini mengungkap sejarah manusia yang hidup berabad-abad yang
lalu.
Selain fosil manusia purba, dipamerkan juga
berbagai fosil binatang purba, antara lain fosil gajah purba yang terdiri dari
Elephas namadicus, Stegodon trigonocephalus, Mastodon sp, kerbau (Bubalus
palaeokarabau), harimau (Felis palaeojavanica), babi (Sus sp), badak
(Rhinocerus sondaicus), sapi atau bateng (Bovidae), rusa (Cervus sp), serta
kuda nil (Hippopotamus sp). Ada juga fosil binatang-binatang air yang terdiri
dari buaya (Crocodillus sp), ikan, kepiting, gigi ikan hiu, moluska (Pelecypoda
dan Gastropoda ), serta kura-kura (Chelonia sp).

Fosil-fosil binatang purba
Untuk memberikan gambaran mengenai cara hidup
manusia purba, museum ini menyediakan diorama yang menggambarkan patung manusia
purba di tengah ekosistemnya. Kita dapat melihat raut wajah, bentuk tubuh, dan
lingkungan rekaan tersebut untuk memperoleh pemahaman mengenai cara hidup
mereka. Selain itu, dipajang pula berbagai peralatan dari batu, antara lain
alat serpih dan bilah, serut dan gurdi, kapak persegi, bola batu dan kapak
perimbas-penetak. Alat-alat dari jaman arkais tersebut digunakan oleh manusia
purba untuk membunuh binatang, memotong daging atau tumbuh-tumbuhan, serta
berfungsi juga sebagai senjata. Di museum ini, para pengunjung juga
diperlihatkan beberapa jenis batuan yang terdiri dari batuan meteorit/taktit,
kalesdon, diatome, agate, dan ametis.

Diorama yang menggambarkan kehidupan manusia purba
Di samping menimba pengetahuan melalui fosil dan
benda-benda purbakala tersebut, wisatawan juga dapat memperdalam pengetahuan
dengan menonton film tentang sejarah situs Sangiran dan gambaran visual di
ruang audio visual. Film tersebut meggambarkan proses ekskavasi dan gambaran
hidup manusia purba
yang berjalan tegak dengan durasi selama 20 menit.
Lapisan tanah terbawah dan memiliki umur paling tua, terbentuk pada kala
Pliosen sekitar 2 juta tahun yang lalu. Mendominasi pusat kubah sangiran,
formasi kalibeng dicirikan oleh endapan laut dan gamping. Pada lapisan ini
tidak ditemukan fosil mamalia tetapi fosil moluska.
Formasi Pucangan

Grenzbank
Terletak diatas formasi Pucangan. Lapisan ini terdiri atas konglomerat
silikaan stadium lanjut, Lapisan ini dipakai sebagai tanda batas antara Formasi
pucangan dan Formasi Kabuh. Lapisan ini terdiri dari elemen laut dan
kerikil terbentuk akibat erosi pegunungan selatan dan Kendeng, Pada Grenzbank
banyak ditemukan hewan mamalia, ditemukan pula fosil Homo Erectus.
Formasi Kabuh
Berupa endapan sedimen vulkanik berfasies fluviatil (pasir silang-siur).
Endapan ini terjadi karena aktivitas Gunung Merapi dan Gunung Lawu purba yang
terjadi pada kala plestosen tengah (500-600 ribu tahun yang lalu). Kaya
akan temuan fosil manusia purba ditemukan pada formasi ini.
Formasi Notopura
Berada pada lapisan teratas di situs Sangiran. Terbentuk karena akibat
dari aktivitas Gunung Berapi pada kala plestosen atas (250.000-70.000
tahun yang lalu). Lapisan ini ditandai oleh endapan lahar, breksi dan pasir
juga banyak ditemukan alat serpih dan fosil kerbau dan kijang.
Secara umum situs sangiran saat ini merupakan daerah berlahan tandus,
terlihat dari banyaknya tempat yang gundul tak berpohon. Hal ini disebabkan
karena kurangnya akumulasi sisa-sia vegetasi yang mengalami humifikasi
membentuk humus. Jenis tanaman yang ada di Situs Sangiran, antara lain lamtoro,
angsana, akasia, johar, sengon mahoni. Terdapat sungai-sungai yang terus
melakukan deformasi di situs sangiran antara lain adalah Kali Cemoro dan Kali
Ngrejeng. Sungai ini memiliki peranan bagi masyarakat sekitar. Bukti-bukti
kehidupan ditemukan di dalam endapan teras sungai purba. Di daerah tropis ini
tidak banyak mengalami perubahan iklim dan memungkinkan manusia purba untuk
hidup.
Pada tahun 1934, daerah Jawa dipakai sebagai ajang penelitian manusia purba
dan alatnya. G.H.R Von Koenigswald melakukan penggalian pada sebuah
bukit di sebelah timur laut sangiran, menemukan sebuah alat batu yang berupa
serpih. Teknologi yang lebih baik menggambarkan perkembangan keterampilan yang
dimiliki oleh manusia pendukungnya yang hidup di Sangiran. Alat-alat yang
dihasilkan, setingkat lebih maju dibandingkan dengan alat-alat sejenis dari
himpunan alat Pacitan. Alat Pacitan diperkirakan berasal dari kala plestosen
tengah bagian akhir. Sedangkan alat-alat batu sangiran ditemukan di lapisan
tanah kala plestosen atas pada formasi Notopuro. Alat-alat yang
banyak ditemukan adalah serpih, dan bilah. Sebagian alat-alat serpih Sangiran
berbentuk pendek, lebar dan tebal, dengan panjang antara 2-4 Cm. Teknologi yang
umumnya digunakan pada alat batu Sangiran adalah teknik clacton, dengan ciri
alat serpih tebal. Selain itu untuk mendapatkan bentuk-bentuk alat yang
diinginkan lebih khusus, dilakukanlah penyerpihan kedua. Disamping alat serpih
dan bilah yang kemungkinan digunakan sebagai alat pemotong dan penyerut kayu,
ditemukan juga alat-alat yang terbuat dari batu lain, yaitu: bola batu,
kapak batu, serut, beliung persegi, kapak perimbas, batu inti, dll. Bahan yang
digunakan untuk untuk peralatan tersebut adalah kalsedon, tufa kersikan,
kuarsa,dll. Alat-alat pada situs Sangiran merupakan hasil teknologi kala
plestosen yang dicirikan dengan pola perburuan binatang dan pengumpulan makanan
sebagai mata pencahariannya. Kemungkinan juga berdasarkan ukuran alat-alat
Sangiranyang relatif kecil;, telah ada kecenderungan untuk memilih hewan buruan
yang lebih kecil
Sosial ekonomi
dan demografi penduduk yang bergerak pada sektor perdagangan pada kawasan obyek
wisata museum Sangiran relatif merata.
92% sudah kawin, Sedangkan jenis kelamin di dominasi oleh penduduk
perempuan 54,67%. Tingkat pendidikan terbesar adalah tamatan SLTA 34,67%. Jumlah anggota keluarga yang ikut
membantu berjualan dengan proporsi terbesar 82,67% pada jumlah lebih kecil dari
3 orang. Jam kerja yang mendominasi lebih dari 45 jam per minggu dengan
proporsi 85,33%. Modal usaha yang terbesar
adalah mereka yang menggunakan modal Rp. 750.000,- sampai Rp.1.000.000,- yaitu
berkisar 70-67%. Pendapatan dengan proporsi terbanyak 48% dengan tingkat pendapatan lebih besar Rp.1.000.000,-.
Hubungan antara modal usaha dengan pendapatan penduduk diperoleh nilai r yaitu
0,765 dan signifikan pada tingkat signifikansi 1%. Karena nilai r yaitu 0,765
lebih besar 0,50 sehingga dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang kuat antara
modal dengan pendapatan. Hubungan antara jam kerja dengan pendapatan penduduk
diperoleh nilai r yaitu 0,307 dan signifikan pada tingkat signifikasi 1%.
Karena nilai r yaitu 0,307 lebih kecil 0,50 sehingga dapat dikatakan bahwa ada
hubungan yang lemah antara jam kerja dengan pendapatan. Hubungan antara jumlah
keluarga yang ikut membantu berjualan dengan pendapatan penduduk diperoleh
nilai r yang tidak signifikan pada tingkat signifikasi 1% atau tidak ada ada
hubungan antara jumlah keluarga yang membantu dengan pendapatan yang diterima
pedagang. Hubungan antara jumlah wisatawan yang belanja dengan pendapatan
penduduk diperoleh nilai r sebesar 0,610 dan signifikan pada tingkat
signifikasi 1%. Karena nilai r lebih besar 0,50 dan lebih kecil dari 0,70
sehingga semakin besar jumlah wisatawan yang belanja maka semakin tinggi pula
pendapatan yang diterima.
B.
Gua – gua Pacitan
1.
Gua song terus
Terlatak di
Punung, Pacitan, Jawa Timur. penggalian (ekskavasi) arkeologis secara
sistematis sejak tahun 1994 sampai sekarang. Berbagai macam temuan yang
dihasilkan sudah mencapai hitungan puluhan ribu sejak dalam penelitian dekade 5
tahun belakangan ini. Jejak-jejak tinggalan budaya berupa industri alat batu
(litik), seperti: alat-alat masif dan serpih-bilah, alat-alat tulang, dan
cangkang kerang (ada yang dipakai sebagai perhiasan: anting) serta berbagai
macam temuan sisa fauna dan manusia yang terdapat di sini telah memberikan
petunjuk dan mengisyaratkan adanya sebuah "Museum Hidup" gua hunian
manusia masa lalu yang sarat akan tinggalan arkeologis.
Jejak budaya
berupa alat-alat batu (litik) di Song Terus merupakan temuan yang paling
melimpah disamping temuan sisa-sisa tulang hewan (fauna). Pada umumnya,
alat-alat litik tersebut memperlihatkan dua perbedaan yang mencolok dipandang
dari aspek geologis (stratigrafi), morfoteknologis, dan bahan baku (raw
materials). Ciri-ciri temuan yang terdapat di lapisan bagian atas penggalian
memperlihatkan corak budaya dari Mesolitik dengan industri alat serpih (dari
bahan baku lebih segar) dan industri tulang, sedangkan di lapisan bagian bawah
merupakan industri yang cenderung lebih masif (dengan ciri utama patinasi tebal
dan teroksidasi) yang mencirikan budaya Palaeotilik. Dari hasil identifikasi
(sementara) terhadap temuan industri litik di Song Terus, diketahui adanya
beberapa tipe kategori kelompok alat, yaitu kelompok alat-alat masif yang
bentuknya cenderung lebih besar daripada kelompok non-masif (serpih bilah).
Jenis kelompok alat-alat masif tersebut antara lain: kapak penetak (chopping
tools), kapak perimbas (choppers), batu pukul (hammers), dan serpih-serpih yang
tergolong besar, sedangkan kelompok alat-alat non-masif diantaranya adalah
serpih-serpih yang mempunyai ciri jejak-jejak pemakaian, antara lain: bilah
(blades), serut samping (side scrapers), serut cekung (notched scrapers), serut
ujung (end scrapers), lancipan (point), dan gurdi (borer).
Dalam kaitannya
dengan eksploitasi sumber daya fauna di Song Terus, tampak jelas dengan
dibuktikannya sejumlah temuan yang sangat melimpah dan padat pada setiap kotak
penggalian. Sisa-sisa fauna tersebut berupa tulang-tulang yang masih utuh
maupun fragmentaris, gigi-geligi, dan bagian tengkorak yang bercampur dengan
peninggalan-peninggalan artefak dan ekofak lainnya. Dari hasil analisis yang
dilakukan terhadap temuan sisa-sisa fauna tersebut, diketahui terdapat empat
kelas golongan "penghuni" vertebrata di Song Terus, yaitu jenis ikan
(kelas Pisces), jenis fauna melata (kelas Reptilia), jenis unggas (kelas Aves),
dan jenis hewan menyusui (kelas Mamalia). Di antaranya, yang sangat dominan
adalah jenis monyet/ kera (Macaca sp), jenis kerbau, sapi, dan banteng
(Bovidae) serta jenis kijang dan rusa (Cervidae).
Dari beberapa
data yang diperoleh memperlihatkan beberapa pecahan tulang yang dimanfaatkan
sebagai alat, terutama jenis tulang panjang dan tulang betis, serta tanduk dari
hewan Macaca sp, Hovidae, dan Cervidae. Alat-alat tersebut pada umumnya
berbentuk sudip (spatula) lancipan dan jarum.
Eksploitasi
sumber daya fauna di Song Terus ternyata tidak hanya terbatas pada fauna darat
(terutama dari filum Vertebrata) saja, tetapi juga dari biota marin (laut).
Sampai sejauh ini, jenis temuan cangkang kerang di Song Terus merupakan temuan
yang cukup banyak setelah industri litik dan sisa-sisa fauna. Dari identifikasi
sisa cangkang kerang tersebut menunjukkan bahwa ini berasal dari filum Moluska,
yang terdiri dari kelas Gostropoda, Pelecypoda, dan Chepolopoda. Pada umumnya,
jenis cangkang kerang dari famili Veneridoe merupakan temuan yang paling
dominan dan banyak dimanfaatkan sebagai alat dengan bentuk serut (scrapeks).
Keberadaan sisa-sisa fauna di dalam konteks budaya dan hunian di Song Terus
jelas memperlihatkan keterikatan yang erat dengan manusia penghuni gua. Fauna
tersebut kemungkinan diperoleh dari daerah sekitar melalui perburuan dan
pencarian di sungai, telaga atau di daerah pantai.
Dari hasil
penelitian yang dilakukan selama ini, tinggalan sisa-sisa manusia yang
diketemukan di Song Terus sangat terbatas sekali, dan secara kuantitas sangat
sedikit jumlahnya dibandingkan dengan temuan lainnya. Pada umumnya, temuan
tersebut berwujud fragmen (pecahan) tengkorak, tulang-tulang jari, dan
gigi-gigi lepas yang tersebar tidak merata pada setiap kotak ekskavasi. Namun,
apabila hal itu dikaitkan dengan beberapa temuan sisa-sisa manusia dan
ciri-ciri temuan yang sama dari situs gua-gua hunian lainnya di Jawa Timur,
sistem hunian dan tata cara penguburan di dalam gua/ ceruk memperlihatkan corak
budaya yang berkembang pada masa Mesolitik, seperti halnya di Song Keplek, Gua
Lawa (Sampung), dan Song Gentong (Tulungagung).
Dari hasil
analisis beberapa sampel arang, tanah (sedimen), dan batuan di dalam konteks
budaya di Song Terus, berhasil diketahui sejarah hunian yang cukup unik yang
mencapai kurun waktu yang sangat panjang. Dari hasil penanggalan, diketahui
bahwa situs ini minimal mempunyai dua ciri hunian yang berbeda ditinjau dari
segi krono-budaya. Di bagian atas merupakan ciri budaya Mesolitik dengan materi
utama industri litik dan tulang yang berlangsung antara 5.770 - 8.340 BP,
sedangkan di bagian bawah merupakan industri yang cenderung lebih masif dan
bercirikan budaya Palaeolitik yang berlangsung antara 56.000 - 160.000 BP.
Penanggalan tersebut sangat menarik karena ternyata lapisan budaya yang
berkembang jauh lebih awal itu berakar pada masa Plestosen. Hal ini membuktikan
bahwa Song Terus merupakan situs hunian yang mempunyai "cultural
sequence" yang panjang. Di bagian atas yang merupakan ciri lapisan
Mesolitik mempunyai umur yang sama dengan situs Song Keplek, dan di bagian bawah
yang bercirikan lapisan budaya Palaeolitik diperkirakan sudah ada dari kala
Plestosen Atas.
Goa Tabuhan
adalah goa yang terletak di desa Wareng, Punung kabupaten sekitar 40 km dari
kota Pacitan ke arah barat. Goa ini disebut Tabuhan karena dengan memukul
lomesone stalactites resource yang menghasilkan music yang berirama gamelan
(music kebudayaan Jawa). Goa tabuhan mempunyai varilored stalagmites ke atas
mencapai setinggi 50 meter menuju liontin stalagtites dibentuk oleh menitis air
dari atap. Goa Tabuhan juga dikenal sebagai Tapan Goa karena konon goa ini dulu
digunakan untuk meditasi. Itu terbukti dengan adanya lokasi kecil dan hanya
bisa ditempati oleh satu orang dalam Goa ini.
Lokasi Goa
Tabuhan dari Goa Gong hanya berselang 20
menit. Meskipun Goa Tabuhan dengan Goa Gong sama – sama disebut sebagai Goa,
namun dari goa tersebut terdapat perbedaan. Kalau Goa Tabuhan memiliki mulut
goa yang melebar dan sirkulasi yang lebih terbuka, gejala karst masih terlihat
lebih natural di Goa ini. Tidak banyak cahaya sebagai penerang yang membantu
pengelihatan saat berpijak di dataran goa yang basah ini, udara di dalamnya pun
masih terasa lembab. Selain itu stalakmit dan stalaktit sesak menumpuk membuat
para pengunjung menunduk setengah badan ketika berjalan didalam Goa tersebut.
Jika kita menelusuri Goa hingga ke dalam akan terlihat bahwa Goa ini menjorok
ke dalam dan berakhir pada lokasi kecil yang konon tempat meditasi.
Dengan adanya
Gua Tabuhan ini perekonomian masyarakat dapat terbantu. Terbukti dengan adanya
Gua Tabuhan sebagai situs manusia purba, masyarakat dapat melakukan kegiatan –
kegiatan ekonomis baik disekitar Gua maupun di dalam Gua. Kegiatan ekenomis
diluar Gua berupa perdagangan souvenir, sedangkan didalam Gua yaitu berupa
kesenian Gamelan Jawa yang dilakukan dengan sebuah alat pemukul berbahan dasar
kayu yang dipukul – pukulkan kearah dinding Gua dan menghasilkan bunyian apik
dari Goa Tabuhan. Adapun penyewaan alat penerangan berupa senter di dalam gua
yang berguna untuk penerangan para pengunjung di dalam Gua. Harga penyewaan
berkisar Rp. 2000 saja. Untuk harga – harga souvenir yang dijual di area
tersebut bisa dibilang relative murah jika kita pandai menawar. Souvenir yang
dijual diantaranya manic –manik dari batu alam yang dibentuk menjadi gelang,
kalung, bros dan sebagainya.
3. Gua
Song Gupuh
Lokasi administratif situs song gupuh terdapat di Dusun Pule , Desa Bama
, Kecamatan Punung, Kabupaten Pacitan,
Propinsi jawa timur. Situs song gupuh merupakaan gua yang terletak di posisi 4
11’12’’ bujur timur dan 8
10’49’’ lintang selatan. Penelitihan
awal pada situs song gupuh dilakukan oleh Pusat Penelitihan Arkeologi Nasional
bekerja sama dengan Departement of Anthropology , Auckland University. Dalam
penelitian tersebut menghasilkan pengertian bahwa situs song gupuh mengandung
peninggalan budaya yang secara tekno - morfologis dapat dikategorikan sebagai
salah satu unsur budaya neolitik. Hal itu terbukti dengan temuan berupa calon
beliung (Plank), tatal-tatal batu (Chips), fragmen beliung, dan fragmen
gerabah, yang berasosiasi dengan fragmen tulang binatang dan kulit kerang, yang
diduga merupakan sisa-sisa makanan penghuni song gupuh pada zaan dulu.


Selain itu ada penelitian lain yang dilakukan oleh R.P. Soejono dan
Gunadi Nitihaminoto dari Pusat Penelitihan Arkeologi Nasional bersama Harry
Allen dari Departement Of Anthropology, Auckland University pada tahun 1995 dan
1997. Ekskavasi tahun 1995 di lakukan dengan system grid-spit (interval ke
dalam 10 cm) dan di mulai dengan membuka satu kotak gali (SQ-II) yang berukuran
2x2 m hingga kedalaman 220cm (Gunadi Nh., 1995). Ekskavasi tahap ke-2 (1997) di
lakukan dengan memperdalam kotak 50 - 1 dengan kedalaman 275 cm, dan membuka
kotak gali (SQ - 2) dengan ukuran 2x1 m
hingga kedalaman 85 cm. Dari kedua tahap tersebut, tiap-tiap kotak gali belum
mencapai pada lapisan yang steril sehingga masih dimungkinkan adanya temuan
baik artefak, maupun ekofak pada kedalaman selanjutnya.
Dari beberapa sisa - sisa aktivitas penghuni song gupuh (baik berupa
artefak ataupun ekofak) dapat disimpulkan bahwa tatal batu (Chips) merupakan
temuan yang paling dominan, tatal batu tersebut terbuat dari bahan batuan
rijang (Chert), beberapa di antaranya masih terdapat kulit batu (Cortex) pada
bagian dorsalnya (meskipun tidak seluruh permukaannya). Tatal-tatal batu ini
pada umumnya masih terlihat segar (Fresh) dan berasosiasi dengan calon temuan
beliung (Plank) sehingga diduga merupakan limbah (Waste) yang berupa serpihan -
serpihan yang terlepas dari bahan baku ketika berlangsungnya pada pembuatan
calon beliung. Tatal yang ditemukan berjumlah 5.102 buah, yang terbagi dalam
448 tatal dengan korteks yang terdiri dari 82 tatal kecil, 286 tatal sedang,dan
80 tatal besar. Dan 4.654 tatal tanpa korteks yang terdiri dari 2.721 tatal
kecil, 1778 tatal sedang, dan 155 tatal besar.
Penggolongan tatal tersebut berdasarkan
pada eksistensi temuan tatal, yaitu tatal kecil (≤ 2cm), tatal sedang (
2,1-4cm), dan tatal besar (≥ 4,1 cm). Artefak batu ini dikerjakan dengan cara
pemangkasan, tiap-tiap tatal memiliki atribut teknologis yang hampir sama,
seperti adanya dataran pukul (striking platform), bulbus (bulbs of percussion),
alur serpih yang berombak (concentric ripples). Pemangkasan dalam hal ini
dilakukan dengan cara tidak langsung, dan alat yang digunakan adalah alat bantu
(fabricate)
C.
Situs Ngrijangan
Lintasan di
sekitar Desa Ngrijangan memberi informasi tentang sumber bahan baku artefak
pada Zaman Neolotikum. Sumber itu berupa bukit yang disusun oleh batu gamping
rijangan. Di sekitar bukit banyak dijumpai beliung dan mata panah, baik yang
sudah jadi maupun setengah jadi. Artefak yang ditemukan pengunjung akan ditukar
dengan piagam, dan benda tersebut akan dikembalikan ke tempat semula. Lintasan
dapat diperpanjang hingga Telaga Ngrijangan, salah satu telaga yang berair
sepanjang tahun di Pacitan Barat. Pengunjung taman geologi dapat melakukan
diskusi berkaitan dengan sejarah terbentuknya telaga atau asal mula batu
gamping rijangan yang singkapannya sangat langka
Fungsi produk
dan fungsi situs bengkel beliung prasejarah berhubungan dengan perdagangan dan
perbengkelan. Penelitian yang pernah dilakukan memperlihatkan fungsi produk
situs bengkel beliung merupakan sarana perdagangan, dan fungsi situs bengkel
sebagai tempat membuat beliung. Penelitian tersebut tidak memperhatikan
hubungan produk dan kegiatan bengkel beliung dengan fasilitas sumber daya alam
yang terdapat pada situs dan sekitarnya.
Penelitian ini bertujuan mengetahui fungsi produk dan fungsi situs yang berhubungan dengan sumber daya alam situs dan sekitarnya. Penelitian diharapkan memperlihatkan apakah produk bengkel beliung merupakan komoditas dagang atau sarana budi daya tanaman pads situs, apakah produk bengkel merupakan upaya pemukim menempatkan diri dan memanfaatkan sumber daya alam, dan bagaimana bentuk kegiatan pemukiman yang ditentukan daya dukung sumberdaya alam lingkungannya.
Upaya untuk mengetahui fungsi produk dan fungsi situs memakai sampel non probabilitas. Data artefak dan lingkungan fisik memakai hasil survai dan penggalian di situs Ngrijangan, Kendeng Lembu, Ngrijang Sengon, Gunung Gamping. Data di (a) Ngrijang Sengon, Ngrijangan diharapkan mewakili bengkel beliung di sisi barat perbatasan Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat dan timur, (b) Gunung Gawping diharapkan mewakili bengkel beliung di Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian timur berbatasan dataran rendah Lumajang, Cc) Kendeng Lembu diharapkan mewakili bengkel beliung di Pegunungan Solo berbatasan Pegunungan Selatan Jawa Timur. Penelitian didukung percobaan, etnografi akik di Gendaran.
Fungsi bengkel memakai perbandingan ciri fisik produk dan kegiatan bengkel dengan sumber daya alam. Perbandingan kesamaan ciri fisik produk memakai rumus Steinhaus yang diuji beda rumus D/ma. Hasil uji memperlihatkan kedudukan tiap artefak seluruh situs dalam proses pembuatan beliung; sehingga menampakan fungsi situs sebagai penghasil atau pengguna produk bengkel. Hubungan fungsi situs penghasil atau pengguna produk dengan sumber daya alam memperlihatkan fungsi situs sebagai pemukiman dan atau perbengkelan.
Hasil penelitian memperlihatkan perbedaan kesimpulan dengan penelitian terdahulu. P nelitian ini memperlihatkan fungsi situs NgriJang Sengon, Ngrijangan, Gunung Gamping, Kendeng Lembu sebagai penghasil pra-beliung dan beliung yang tidak berlangsung setiap waktu bergantung persediaan air untuk menggosok batuan. Produk bengkel beliung tidak didagangkan di bengkel. Produk bengkel beliung dipakai budi daya tanaman selama memproduksi beliung; sehingga bentuk pemukiman pendukung kegiatan bengkel berhubungan dengan budi daya tanaman tebas bakar yang bervariasi sesuai daya dukung sumber alam di situs Ngrijangan, Ngrijang Sengon, Gunung Gamping dan Kendeng Lembu.
Penelitian ini bertujuan mengetahui fungsi produk dan fungsi situs yang berhubungan dengan sumber daya alam situs dan sekitarnya. Penelitian diharapkan memperlihatkan apakah produk bengkel beliung merupakan komoditas dagang atau sarana budi daya tanaman pads situs, apakah produk bengkel merupakan upaya pemukim menempatkan diri dan memanfaatkan sumber daya alam, dan bagaimana bentuk kegiatan pemukiman yang ditentukan daya dukung sumberdaya alam lingkungannya.
Upaya untuk mengetahui fungsi produk dan fungsi situs memakai sampel non probabilitas. Data artefak dan lingkungan fisik memakai hasil survai dan penggalian di situs Ngrijangan, Kendeng Lembu, Ngrijang Sengon, Gunung Gamping. Data di (a) Ngrijang Sengon, Ngrijangan diharapkan mewakili bengkel beliung di sisi barat perbatasan Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat dan timur, (b) Gunung Gawping diharapkan mewakili bengkel beliung di Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian timur berbatasan dataran rendah Lumajang, Cc) Kendeng Lembu diharapkan mewakili bengkel beliung di Pegunungan Solo berbatasan Pegunungan Selatan Jawa Timur. Penelitian didukung percobaan, etnografi akik di Gendaran.
Fungsi bengkel memakai perbandingan ciri fisik produk dan kegiatan bengkel dengan sumber daya alam. Perbandingan kesamaan ciri fisik produk memakai rumus Steinhaus yang diuji beda rumus D/ma. Hasil uji memperlihatkan kedudukan tiap artefak seluruh situs dalam proses pembuatan beliung; sehingga menampakan fungsi situs sebagai penghasil atau pengguna produk bengkel. Hubungan fungsi situs penghasil atau pengguna produk dengan sumber daya alam memperlihatkan fungsi situs sebagai pemukiman dan atau perbengkelan.
Hasil penelitian memperlihatkan perbedaan kesimpulan dengan penelitian terdahulu. P nelitian ini memperlihatkan fungsi situs NgriJang Sengon, Ngrijangan, Gunung Gamping, Kendeng Lembu sebagai penghasil pra-beliung dan beliung yang tidak berlangsung setiap waktu bergantung persediaan air untuk menggosok batuan. Produk bengkel beliung tidak didagangkan di bengkel. Produk bengkel beliung dipakai budi daya tanaman selama memproduksi beliung; sehingga bentuk pemukiman pendukung kegiatan bengkel berhubungan dengan budi daya tanaman tebas bakar yang bervariasi sesuai daya dukung sumber alam di situs Ngrijangan, Ngrijang Sengon, Gunung Gamping dan Kendeng Lembu.
kesimpulan
Terdapat berbagi
macam situs-situs prasejarah dan peninggalannya di Gua –Gua yang kami observasi
diantaranya yaitu Gua Song Gupuh, Song Terus, Gua Tabuhan dan Situs Sangiran.
Penemuan –penemuan yang kami dapat dari situs –situs tersebut diantaranya
merupakan peninggalan pada budaya Neolitik yaitu masa bercocok tanam hingga
masa Perundagian. Alat –alat batu yang digunakan saat berburu maupun saat
bercocok tanam terdapat di dalamnya. Fosil manusia yang ditemukan merupakan
setengah dari warisan dunia. Oleh karena itu mari kita selamatkan budaya dunia
ini dan kita ceritakan kepada anak bangsa.
Daftar Pustaka
Komentar
Posting Komentar